Kalau ada kata-kata Virgin di judul tulisan ini, bukanlah untuk resensi film Virgin 2 nya Nayato. Ini adalah kenyataan yang terjadi di belahan dunia sebelah sana, dengan salah satu Virgin Megastore yang dulu saham penuhnya dipegang oleh sang penciptanya, jutawan Richard Branson.
Pagi tadi saya mendapat SMS dari Ochi, adik saya yang beberapa tahun terakhir ini tinggal di New York City. Isi SMS tersebut memberitakan kalau Virgin Megastore di New York akan tutup pertengahan bulan ini dan mereka melakukan obral besar-besaran sampai 40%. Buat yang suka mengkoleksi DVD, blu-ray, CD atau apapun yang selalu di jual di toko multi entertainment multi ada tersebut adalah sebuah kesempatan. Adik saya dan suaminya beli 6 blu-ray dan beberapa game PS3 cukup dengan mengeluarkan $150. Tapi bagi saya, koleksi kenangan membeli CD dan sebagainya di toko seperti Virgin Megastore seperti tidak terbayarkan.
Dulu kita kenal dengan apa yang namanya Tower Record hampir di seluruh kota di dunia (sayang Jakarta tidak sempat ada). Kalau ada yang bepergian ke kota tertentu, menitipkan untuk membeli CD di Tower Record setempat tidak terlewatkan. Pertengahan 90an, hadir Virgin Megastore yang merebak di pusat jantung kota-kota besar di dunia. Kalau di Los Angeles kita bisa melihat Tower Record di Sunset Blvd, Virgin Megastores di kota itu hadir tepat di tengah kota. Serunya, Virgin Megastores memberikan peluang pembeli untuk mendengar langsung isi dari CD yang mereka akan atau berpikir untuk beli. (Buat orang Indonesia di era pra-Bob Geldof's Complaint sudah biasa dengan mendengar kaset sebelum membeli). Balik lagi, ini sebuah persaingan outlet. Pembeli seperti disuguhi pilihan outlet untuk memenuhi kebutuhan piranti lunak entertainment mereka.
Pada Juni 2006, terakhir kalinya saya belanja di Tower Record di Broadway dekat dengan St. Marks Place, New York. Pada saat itu juga adalah bulan-bulan terakhir eksistensi Tower Record karena pada bulan Oktober 2006, mereka melakukan likuidasi besar-besaran dan tutup secara resmi pada bulan Desember 2006. Di situs ini, http://nymag.com/listings/stores/tower_records03/, kita masih bisa menemukan lokasi toko ini dengan catatan kalau 'the venue is closed'. Kali ini, Virgin Megastores juga akan mengalami nasib yang sama. (Catatan: Tower Records di Picadilly, London, dibeli oleh Virgin Megastores pada tahun 2003 sebelum tutup pada tahun 2007).
Kalau yang berencana ke daerah 42nd Street, New York, dua bulan dari sekarang. Kalian mungkin tidak akan melihat satu toko yang telah, secara perlahan, menjadi icon daerah tersebut dalam 10 tahun terakhir. The Devil Wears Prada, The Sex and The City, dan masih banyak film box-office lainnya, telah menampilkan 'backdrop' dari Virgin Megastores di beberapa scene mereka. Sekarang, bagian dari scene-scene tersebut telah menjadi relic seperti the stadiun New York Yankees, the Old Comiskey Park atau mungkin gedung kembar WTC.
Telah menjadi keasikan tersendiri, ketika kita pergi ke toko-toko tersebut, mengobrak-ngabrik koleksi yang kita cari, ataupun mendengar selentingan musik dari album-album terbaru, belum tentu fenomena ini bisa dirasakan oleh kita dalam 5 tahun mendatang. Ini tidak terlepas dari bergeraknya fasilitas ekonomi baru yang melanda dunia, tidak hanya Amerika Serikat. Mudahnya dan cepatnya akses internet telah membuat gaya hidup kita berbeda. Kalau dulu, yang pernah tinggal di Amerika tahun 80an & 90an, pernah merasakan adanya katalog toko-toko tertentu (J-Crew, Sears, Victoria Secrets, dll) untuk menjawab kemudahan kita untuk berbelanja tanpa harus bepergian, 10 tahun terakhir kita dibuai dengan segala bentuk toko-toko online. 10 tahun yang lalu, buku atau CD kita bisa beli lewat internet. Kali ini album cukup diunduh (download) lewat toko seperti iTunes store atau amazon.com.
Gaya hidup kita semakin didikte dengan buaian-buaian seperti ini. Kapan terakhir kalinya orang yang kamu kenal membeli CD. Semua yang di Jakarta pada umumnya memilih untuk memiliki langsung mp3, lewat situs bajakan di Rusia ataupun lewat iPod kawan dekat. Kindle juga menjadi fenomena baru ketika amazon.com meluncurkan buku-buku teks sekolah dalam format kindle. Semua menjadi paperless. Beberapa koran yang cukup tua di Amerika memberhentikan publikasi mereka ketika mereka memilih untuk menjadi koran online. Tidaklah heran, dengan pergerakan teknologi menjadi 1 dan 0, retail-retail seperti Tower Records, Virgin Megastores, HMV menjadi ngos-ngosan untuk menjaga 'overhead' mereka, lebih-lebih mereka menawarkan produk yang bisa dibilang akan menjadi usang dalam 5 tahun mendatang.
Sedikit lagi semua akan tinggal jadi kenangan. Siapa tau tas-tas kantong kresek plastik dari toko-toko seperti Tower Records, Virgin Megastores suatu saat bisa menjadi sesuatu yang menarik dijual di ebay atau menjadi property film-film yang bercerita tahun 80an & 90an. Sekarang, kesempatan untuk beli barang yang di 'bargain' di Virgin Megastores dengan tidak lupa untuk mengambil beberapa memento seperti kantong kresek, karena tahun 2006 terlewatkan untuk mengkoleksi yang dari Tower Records.
01 June 2009
Once There Was a Tower, Now is Goodbye Virgin
Category:
Indonesia,
iTunes Store,
Jakarta,
New York,
Tower Records,
Virgin Megastores,
What a Daily...
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment