30 May 2012

Kita Semua Bertanggung Jawab

Memang menyedihkan mendengar cerita suporter dengan keberingasan karena sebuah fanatisme buta yang sering memakan korban jiwa. Lebih-lebih dilakukan dengan sistim penindasan atas kelompok yang saat itu posisi-nya dalam keadaan lemah. Ditengah-tengah zaman modern seperti sekarang ini, seolah-olah kita tidak bergeming untuk mengatakan STOP untuk semua itu.

Sedih, tapi kalau kita melihat sejarah, bangsa kita memang tidak pernah lepas dari keberingasan ini. Kita masih ingat peristiwa 98. Kita pernah mendengar kejadian pasca 65. Dan kalau kita buka buku sejarah, bangsa kita pun beringas kepada orang kulit putih yang baru saja keluar dari kamp konsentrasi Jepang setelah kita memproklamirkan kemerdekaan. Di jaman yg disebut jaman "bersiap" itu, kita yang dikenal ramah menjadi ringan tangan. Pembunuhan, pemerkosaan dan penganiayaan ada dimana-mana. Apa MANUSIA INDONESIA seperti ini?

Sedih, tetapi sekarang hanya bisa berharap HUKUM yang berjalan. Entah hukum negara atau hukum tuhan...mudah-mudahan bukan yang hukum tuhan. Karena bagaimana juga, kita semua, sebagai mahluk tuhan, ikut bertanggung jawab atas kejadian ini semua.

28 May 2012

Modus Napsuandi

Seminggu setelah melepas iPad edisi pertama, tersirat untuk mendapatkan iPad edisi terakhir guna dijadikan tempat membaca koleksi buku-buku bacaan saya. Dilepasnya yang pertama karena untuk menghindari jatuhnya harga itu semakin jauh karena nilai depresiasi barang-barang elektronik. Untuk mendapatkan iPad edisi terbaru tabungan belum mencukupi, karena harus membiayai beberapa keperluan lainnya, sementara limit kartu kredit mulai mendekati ambang mentok. Akhirnya, dibiarkan akhir-akhir ini untuk sekedar mengkhayal sambil membaca koleksi epub lewat laptop dan iPhone 4 saya.


Satu waktu, setelah berhasil menjual iPad pertama lewat situs berjualan yang sering dipromosikan lewat layar kaca, berniaga.com, saya mencoba melirik iPad yang ditawarkan di situs itu. Harga pasaran untuk iPad 2 3G 32GB, masih sekitar Rp. 6jt (berharap harga ini akan jatuh dengan hadirnya New iPad di Indonesia). Tiba-tiba, salah satu link menawarkan iPad 2 jauh dari harga pasaran. Too Good To Be True yang pertama kali terlintas. Tetapi napsu juga menggugah untuk segera menghubungi si penjual yang nama dan nomor teleponnya tertera.


Seperti biasa di transaksi jual beli online seperti ini, pertanyaan mendasar, meskipun kebanyakkan sudah dengan gambar dan kondisi yang tertulis di situs, adalah bagaimana kondisinya, garansi sampai kapan dan terakhir harga nett. Yang membuat saya napsu adalah tentunya harga yang Too Good To Be True itu dan gambar-gambar yang terlihat ini barang baru dan dalam kuantitas yang banyak. SMS saya dibalas dan komunikasi terjalin. Sang penjual mempersilahkan dirinya untuk ditelpon, tetapi saya mengatakan akan menelpon dia pada pagi hari karena hari memang sudah malam. Esok harinya, SMS dari penjual kembali menanyakkan keinginan saya untuk membeli. Saya bertanya dimana lokasi, dia membalas dengan alamat yang sudah tertera di link-nya (http://www.berniaga.com/IPad+2+3g+Wifi+white+32gb-9632184.htm). Saya bilang saya akan ke tempat itu pagi ini.


Skema penipuan sudah mulai terbayang ketika saya menyetir mobil saya Minggu pagi melintasi Jakarta Selatan dan Pusat menuju daerah Roxy, tepatnya di Roxy Square. Kayaknya, dengan skema yang sudah terbangun di benak saya, saya tidak menjadi terlalu kecewa kalaupun transaksi ini gagal. Yang ada di benak saya, kalau ternyata saya sudah berada di depan toko, sang penjual memberi tahu kalau barangnya abis. Naif juga yah....


Tentu, hari itu tidak ada transaksi yang terjadi. Alamat yang diberikan kuranglah lengkap, tidak ada nomor kios toko, hanya sektornya saja. Ketika saya hubungi lagi si penjual, dengan santai kalau dia memberi tahu untuk sepakat ketemu di lantai tiga (sementara alamat yang diberikan adalah lower ground) dan sebelum ketemu sekiranya saya bisa melakukan transfer uang, setengah dari harga nett yang ditawarkan. Seperti mendapat tamparan baru, saya hanya tertawa sinis mendengar ini. Ini sesuatu yang sedikit terlintas di benak saya. Kembali sedikit terbawa napsu, saya dengan kesal bilang ke si penjual kalau dia mencoba menipu dan saya bukan orang bodoh yang bisa ditipu dengan cara melakukan transfer ke orang yang tidak kita kenal dengan jumlah yang lumayan besar. Saya matikan panggilan tersebut.


Sudah berapa orang yang tertipu dengan cara ini. Banyak yang bilang kalau modus penipuan seperti ini sudah sering dilakukan, tidak ada bedanya dengan SMS yang memberi tahu harga-harga miring barang-barang elektronik.


Setelah mematikan panggilan tadi ada rasa penyesalan. Tidak dengan keberadaan saya yang jauh dari tempat tinggal saya di Jakarta Selatan, tapi lebih tidak dapat membantu untuk meringkus salah satu orang macam begini di Jakarta. Mungkin ini yang harusnya saya lakukan. Pertama, harusnya saya merekam pembicaraan tadi. Itu kenapa mereka enggan memberi tahu prosedur lewat SMS karena akan bisa menjadi barang bukti. Kedua, harusnya, saya kasih kesempatan orang ini memberi tahu no. account bank dia, seolah-olah saya sepakat untuk mengikuti langkah selanjutnya. Akan lebih kuat kalau saya minta dia mengirimkan no. account lewat SMS. Ketiga, saya melakukan tawar-menawar untuk sepakat mengirim Rp. 500ribu. Tentunya, buat para penipu ini, Rp. 500ribu adalah better than nothing. Keempat, merelakan Rp. 50ribu melayang dengan melakukan transfer dengan nilai tersebut ke no. account yang diberikan. Kelima, dengan melakukan nomor empat di atas adalah untuk mengkonfirmasi kalau no. account itu valid. Keenam, memberi tahu ke si penipu kalau saya sudah transfer Rp. 500ribu. Yang ini bisa menimbulkan perdebatan, karena saya akan ngotot kalau saya sudah transfer Rp. 500ribu dan dia akan ngotot kalau dia baru menerima 10% dari yang seharusnya. Dengan merekam seluruh pembicaraan di atas, saya seharusnya sudah memiliki barang bukti, apalagi kalau saat melakukan itu saya sudah memberi laporan ke aparat kepolisian (hmmmm, ini kan biangnya penipu...hehehehe). Tapi sayang, saya tidak melakukan yang di atas....:(


Ini akan saya jadikan pelajaran buat saya di Hari Minggu. Saya bisa melihat sisi lain dari Jakarta di Minggu pagi yang cerah dan saya bisa mentertawakan diri saya karena kenapsuan saya akan sebuah harga barang yang tidak masuk akal. Semoga ada yang bisa menjerat penipu-penipu dengan modus operandi seperti di atas. Ameen.


JAKARTA, MAY 2012

30 March 2012

Mencari Bapak di Kerajaan Binatang

Hari Rabu (28.03.12) kemarin, memang saya sudah niatkan untuk menonton filmnya Edwin, The Postcard from the Zoo, film yang berhasil meraih pencapaian menjadi film yang ikut berkompetisi di Berlin International Film Festival awal tahun 2012 ini. Kebetulan, film ini menjadi bagian dari pemutaran acara "Sejarah Adalah Sekarang"-nya Dewan Kesenian Jakarta di kineforum, jadinya memang harus diniatin dan dibela-belain hadir kalau tidak harus menunggu beberapa waktu lagi.

Ini adalah film kedua Edwin, setelah 3 tahun yang lalu meluncurkan film perdana-nya yang tidak kurang dahsyat & menggelegar secara internasional (meskipun terbatas secara nasional), "Babi Buta yang Ingin Terbang". Kalau di film terdahulunya, judul dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia hanyalah melewati sebuah penterjemahan, akan tetapi, untuk film The Postcard from the Zoo (ZOO), Edwin cukup merampingkan menjadi "Kebun Binatang" sebagai judul Bahasa Indonesia-nya. Saya rasa, ini adalah pilihan Edwin atas kegundahan humanisnya atas individu pada satu tempat.

Kalau kita simak alur film ZOO, masih berkutat pada tema besar pencarian identitas yang kerap tampil di film-film Edwin, baik film panjang maupun film pendek. Kembali di film kali ini, anak balita dihadirkan pada pembukaan film, dimana diceritakan dia ditinggalkan pada satu tempat umum di sebuah pagi buta. Masih belum terlihat dengan jelas tempat apakah ini, tetapi pada adegan selanjutnya terlihat jelas kalau anak balita yang bernama Lana ini berada di sebuah ruang alami buatan terbuka yang bernama kebun binatang. Analogi yang coba saya khayati adalah, tempat boleh di alam terbuka akan tetapi terdengar perkataan Zoo atau kebun binatang, bagi saya itu adalah sebuah 'confinement'. Untuk itu, identitas dalam kurungan adalah sebuah ruang nyaman bagi seorang individu menjadi premise cerita film ini, beranjak dari tema besar pencarian identitas.

Pada cerita, kita melihat Lana kecil berjalan tertatih-tatih menelusuri selak beluk hutan buatan dalam kebon binatang pada pagi hari yang masih sepi akan pengunjung yang merupakan pasar utama sebuah kebun binatang. Yang membuat saya tercengang, pada buntut pencarian ini, Lana berteriak dengan memanggil bapaknya, bukan dengan nama, tetapi bapak sebagai panggilan umum. Ini bukanlah sesuatu yang lumrah, mengingat anak seumuran Lana kerap sekali mengidentifikasikan sosok ibu ketimbang bapak sebagai sosok pelindung. Di kerajaan binatang, hal ini juga berlaku, sosok ibu lebih tampil sebagai pelindung sang jabang bayi. Sementara, sosok bapak lebih dianalogikan sebagai sosok ekonomi. Kenapa sosok ekonomi, karena sosok jantan adalah mereka yang bertanggung jawab atas sebuah komunitas, sehingga sosok betina bisa terus melindungi dan memberikan makan ke generasi selanjutnya. Jantan sebagai sosok makro, betina sosok mikro.

Pertanyaan yang berkutat di pikiran saya, apakah kesengajaan Edwin dengan Lana memanggil bapak, bukan memanggil ibu, sebuah cerminan pencarian akan sosok identitas yang ideal pada ruang lingkup yang lebih luas, yang lebih dari sekedar melindungi? Pencarian atas sosok makro. Kalau kita melihat film Edwin yang sebelumnya, Babi Buta yang Ingin Terbang (BBIT), film yang juga mempertanyakan identitas, terlihat sosok bapak seperti ingin pergi meninggalkan tanggung jawab atau habitat asli-nya. Sosok pria yang lupa akan pijakannya, satu meninggalkan Indonesia dan satunya meninggalkan keluarganya.

Pada film ZOO, kita juga melihat banyak sosok pria yang menjadi pengembara dan mencari perlindungan di dalam kebun binatang. Mulai dari 'environmentalist' sampai ke sosok tukang sulap. Yang saya lihat, semuanya pria yang mencari 'salvation' ini. Kembali disini, Edwin memperlihatkan kembali para bapak, atau calon bapak, yang lari keluar dari habitat atau komunitas-nya. Tokoh jantan pada manusia, memilih untuk menyendiri dan membangun habitat baru atas kesendiriannya, sementara yang kita ketahui dari kerajaan binatang di kebun binatang, komunitas yang dibangun adalah komunitas buatan manusia. Semua balik lagi ke pemikiran 'confinement'.

Kontras dengan tokoh Lana, dia seorang perempuan, yang mencari sosok bapak, menjadi bagian kebun binatang, tetapi dia sangat mengidamkan untuk memegang perut dari Jerapah. Kalau para manusia jantan ingin keluar dan mengembara, sosok Lana, manusia betina, terasa ingin kembali ketika jaminan secara komunitasnya telah tercapai. Adegan keinginan memegang perut bisa dianalogikan dengan suasana kenginginan untuk kembali ke dalam lindungan, 'mother's womb'. Pencarian bapak untuk pada sebuah komunitas, berhasil ditemukan di ruang alam buatan seperti kebun binatang, tetapi pencarian ibu untuk sebuah perlindungan masih belum didapatkannya. Perlindungan dari bapak komunitas mencakup perlindungan terhadap individu-individu lainnya. Itu yang harus dilewati dengan kompetisi atau favoritisme yang dimana kompetisi juga berperan. Sementara perlindungan dari ibu, tiada duanya. Teringat akan lagu ketika masih anak-anak, "Kasih ibu terhadap beta, tak terhingga..."

Lana mengidentifikasi dirinya seperti dengan seekor Jerapah di Kebun Binatang Ragunan. Tokoh binatang ini secara psikologis telah diubah cara berpikirnya. Binatang yang pada habitat aslinya lebih berkelompok, tetapi di kebun binatang ini dia hanyalah sebatang kara. Mirip seperti Lana, biarpun membaur, tetapi masih menjadi bagian yang 'misfit' di komunitas ini.

Tambahan lagi untuk Jerapah yang ditempatkan pada dua keadaan alami yang sangat bertolak belakang. Binatang yang banyak tersebar di Afrika ini memiliki wajah bagaikan onta dengan kulit seperti leopard. Nama latinnya pun Girrafa Cameleopardis, mengambil dua jenis binatang tersebut. Sesungguhnya,
dua dunia telah dihadirkan di dalam film ZOO ini, yang teridentik satu sama lainnya secara psikologis.

Dengan dua dunia, hadir juga dunia dalam dan dunia luar kebun binatang. Tokoh Lana dihadapkan dengan keadaan dunia nyata di luar kebun binatang yang begitu keras, seolah-olah dunia luar bagaikan satu 'confinement' dari sebuah kebun binatang yang lebih luas. Dia melihat kompetisi untuk favoritisme yang hadir lewat 'aquarium' panti pijat, dimana sang pekerja dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Yang Lana cari setelah itu adalah perlindungan, tetapi dia tidak mendapatkan perlindungan, baik di dalam maupun di luar dunia kebun binatang.

Terangkai sebuah pertanyaan di benak saya, apa itu dua dunia menurut Edwin? Apakah pengakuan identitas lewat sebuah komunitas besar ataukah pencarian perlindungan karena dunia pengakuan identitas manusia adalah dunia binatang yang teramat kejam. Saya mencoba merenung dan merasakan kegetiran tokoh Lana di sini. Akhirnya saya memutuskan, that's it. Ini sebuah perenungan yang dalam. Film ZOO ini adalah sebuah perenungan, sangat jauh dari sebuah film 'escapist' kalau ada yang merujuk adegan terakhir adalah sebuah sikap fatalis untuk kembali kandungan seorang ibu (betina). Edwin hanya meminta kita, sebagai penonton, untuk ber-empathy dengan melihat sebuah pilihan yang dipilihnya terhadap sosok Lana.

APRIL 2012