Hari Rabu (28.03.12) kemarin, memang saya sudah niatkan untuk menonton filmnya Edwin, The Postcard from the Zoo, film yang berhasil meraih pencapaian menjadi film yang ikut berkompetisi di Berlin International Film Festival awal tahun 2012 ini. Kebetulan, film ini menjadi bagian dari pemutaran acara "Sejarah Adalah Sekarang"-nya Dewan Kesenian Jakarta di kineforum, jadinya memang harus diniatin dan dibela-belain hadir kalau tidak harus menunggu beberapa waktu lagi.
Ini adalah film kedua Edwin, setelah 3 tahun yang lalu meluncurkan film perdana-nya yang tidak kurang dahsyat & menggelegar secara internasional (meskipun terbatas secara nasional), "Babi Buta yang Ingin Terbang". Kalau di film terdahulunya, judul dalam Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia hanyalah melewati sebuah penterjemahan, akan tetapi, untuk film The Postcard from the Zoo (ZOO), Edwin cukup merampingkan menjadi "Kebun Binatang" sebagai judul Bahasa Indonesia-nya. Saya rasa, ini adalah pilihan Edwin atas kegundahan humanisnya atas individu pada satu tempat.
Kalau kita simak alur film ZOO, masih berkutat pada tema besar pencarian identitas yang kerap tampil di film-film Edwin, baik film panjang maupun film pendek. Kembali di film kali ini, anak balita dihadirkan pada pembukaan film, dimana diceritakan dia ditinggalkan pada satu tempat umum di sebuah pagi buta. Masih belum terlihat dengan jelas tempat apakah ini, tetapi pada adegan selanjutnya terlihat jelas kalau anak balita yang bernama Lana ini berada di sebuah ruang alami buatan terbuka yang bernama kebun binatang. Analogi yang coba saya khayati adalah, tempat boleh di alam terbuka akan tetapi terdengar perkataan Zoo atau kebun binatang, bagi saya itu adalah sebuah 'confinement'. Untuk itu, identitas dalam kurungan adalah sebuah ruang nyaman bagi seorang individu menjadi premise cerita film ini, beranjak dari tema besar pencarian identitas.
Pada cerita, kita melihat Lana kecil berjalan tertatih-tatih menelusuri selak beluk hutan buatan dalam kebon binatang pada pagi hari yang masih sepi akan pengunjung yang merupakan pasar utama sebuah kebun binatang. Yang membuat saya tercengang, pada buntut pencarian ini, Lana berteriak dengan memanggil bapaknya, bukan dengan nama, tetapi bapak sebagai panggilan umum. Ini bukanlah sesuatu yang lumrah, mengingat anak seumuran Lana kerap sekali mengidentifikasikan sosok ibu ketimbang bapak sebagai sosok pelindung. Di kerajaan binatang, hal ini juga berlaku, sosok ibu lebih tampil sebagai pelindung sang jabang bayi. Sementara, sosok bapak lebih dianalogikan sebagai sosok ekonomi. Kenapa sosok ekonomi, karena sosok jantan adalah mereka yang bertanggung jawab atas sebuah komunitas, sehingga sosok betina bisa terus melindungi dan memberikan makan ke generasi selanjutnya. Jantan sebagai sosok makro, betina sosok mikro.
Pertanyaan yang berkutat di pikiran saya, apakah kesengajaan Edwin dengan Lana memanggil bapak, bukan memanggil ibu, sebuah cerminan pencarian akan sosok identitas yang ideal pada ruang lingkup yang lebih luas, yang lebih dari sekedar melindungi? Pencarian atas sosok makro. Kalau kita melihat film Edwin yang sebelumnya, Babi Buta yang Ingin Terbang (BBIT), film yang juga mempertanyakan identitas, terlihat sosok bapak seperti ingin pergi meninggalkan tanggung jawab atau habitat asli-nya. Sosok pria yang lupa akan pijakannya, satu meninggalkan Indonesia dan satunya meninggalkan keluarganya.
Pada film ZOO, kita juga melihat banyak sosok pria yang menjadi pengembara dan mencari perlindungan di dalam kebun binatang. Mulai dari 'environmentalist' sampai ke sosok tukang sulap. Yang saya lihat, semuanya pria yang mencari 'salvation' ini. Kembali disini, Edwin memperlihatkan kembali para bapak, atau calon bapak, yang lari keluar dari habitat atau komunitas-nya. Tokoh jantan pada manusia, memilih untuk menyendiri dan membangun habitat baru atas kesendiriannya, sementara yang kita ketahui dari kerajaan binatang di kebun binatang, komunitas yang dibangun adalah komunitas buatan manusia. Semua balik lagi ke pemikiran 'confinement'.
Kontras dengan tokoh Lana, dia seorang perempuan, yang mencari sosok bapak, menjadi bagian kebun binatang, tetapi dia sangat mengidamkan untuk memegang perut dari Jerapah. Kalau para manusia jantan ingin keluar dan mengembara, sosok Lana, manusia betina, terasa ingin kembali ketika jaminan secara komunitasnya telah tercapai. Adegan keinginan memegang perut bisa dianalogikan dengan suasana kenginginan untuk kembali ke dalam lindungan, 'mother's womb'. Pencarian bapak untuk pada sebuah komunitas, berhasil ditemukan di ruang alam buatan seperti kebun binatang, tetapi pencarian ibu untuk sebuah perlindungan masih belum didapatkannya. Perlindungan dari bapak komunitas mencakup perlindungan terhadap individu-individu lainnya. Itu yang harus dilewati dengan kompetisi atau favoritisme yang dimana kompetisi juga berperan. Sementara perlindungan dari ibu, tiada duanya. Teringat akan lagu ketika masih anak-anak, "Kasih ibu terhadap beta, tak terhingga..."
Lana mengidentifikasi dirinya seperti dengan seekor Jerapah di Kebun Binatang Ragunan. Tokoh binatang ini secara psikologis telah diubah cara berpikirnya. Binatang yang pada habitat aslinya lebih berkelompok, tetapi di kebun binatang ini dia hanyalah sebatang kara. Mirip seperti Lana, biarpun membaur, tetapi masih menjadi bagian yang 'misfit' di komunitas ini.
Tambahan lagi untuk Jerapah yang ditempatkan pada dua keadaan alami yang sangat bertolak belakang. Binatang yang banyak tersebar di Afrika ini memiliki wajah bagaikan onta dengan kulit seperti leopard. Nama latinnya pun Girrafa Cameleopardis, mengambil dua jenis binatang tersebut. Sesungguhnya, dua dunia telah dihadirkan di dalam film ZOO ini, yang teridentik satu sama lainnya secara psikologis.
Dengan dua dunia, hadir juga dunia dalam dan dunia luar kebun binatang. Tokoh Lana dihadapkan dengan keadaan dunia nyata di luar kebun binatang yang begitu keras, seolah-olah dunia luar bagaikan satu 'confinement' dari sebuah kebun binatang yang lebih luas. Dia melihat kompetisi untuk favoritisme yang hadir lewat 'aquarium' panti pijat, dimana sang pekerja dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Yang Lana cari setelah itu adalah perlindungan, tetapi dia tidak mendapatkan perlindungan, baik di dalam maupun di luar dunia kebun binatang.
Terangkai sebuah pertanyaan di benak saya, apa itu dua dunia menurut Edwin? Apakah pengakuan identitas lewat sebuah komunitas besar ataukah pencarian perlindungan karena dunia pengakuan identitas manusia adalah dunia binatang yang teramat kejam. Saya mencoba merenung dan merasakan kegetiran tokoh Lana di sini. Akhirnya saya memutuskan, that's it. Ini sebuah perenungan yang dalam. Film ZOO ini adalah sebuah perenungan, sangat jauh dari sebuah film 'escapist' kalau ada yang merujuk adegan terakhir adalah sebuah sikap fatalis untuk kembali kandungan seorang ibu (betina). Edwin hanya meminta kita, sebagai penonton, untuk ber-empathy dengan melihat sebuah pilihan yang dipilihnya terhadap sosok Lana.
APRIL 2012
30 March 2012
Subscribe to:
Posts (Atom)